Selasa, 27 Mei 2025

DIGITALISASI: JENIUS ATAU TERJERUMUS?

             Di tengah gemerlap dunia maya yang penuh kilau, literasi digital menjadi pelita yang menuntun kita agar tidak tersesat dalam kegelapan informasi. Tanpa kemampuan ini, kita ibarat kapal tanpa nahkoda, terombang-ambing di lautan data yang luas dan tak bertepi.

Menurut Paul Gilster, literasi digital bukan sekadar kemampuan teknis menggunakan perangkat, tetapi juga kemampuan berpikir kritis terhadap informasi digital. Ia menekankan bahwa literasi digital adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber yang sangat luas, diakses melalui alat komputer.

Namun, di balik kemudahan akses informasi, muncul tantangan besar: arus informasi yang deras dan tak terkendali. Tanpa literasi digital yang memadai, kita mudah terjebak dalam pusaran misinformasi dan disinformasi yang dapat menyesatkan. Seperti pepatah lama, "Tak semua yang berkilau itu emas," demikian pula tak semua informasi yang tampak benar itu dapat dipercaya.

Fenomena ini diperparah dengan maraknya hoaks dan berita palsu yang tersebar dengan cepat melalui media sosial. Menurut survei dari Katadata Insight Center, setidaknya 11,9% publik masih menyebarkan berita palsu atau hoaks, yang dapat menimbulkan kecemasan masyarakat dan bahkan perpecahan bangsa.

Di sisi lain literasi digital juga membuka pintu kreativitas dan inovasi. Dengan kemampuan ini, kita dapat menciptakan konten digital yang tidak hanya informatif tetapi juga menarik dan bermanfaat. Seperti seorang seniman yang menuangkan ide dalam kanvas digital, kita dapat mengekspresikan diri dan berbagi pengetahuan dengan dunia.

Selain itu, literasi digital memungkinkan kita untuk berkomunikasi dan berkolaborasi secara efektif dalam lingkungan digital. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, kemampuan untuk bekerja sama secara online menjadi keterampilan yang sangat berharga.

Namun, tak dapat dipungkiri bahwa ada sisi gelap dari dunia digital. Tanpa pemahaman yang tepat, kita bisa terjerumus dalam perilaku negatif seperti penyebaran ujaran kebencian, penipuan online, dan pelanggaran privasi. Seperti pisau bermata dua, teknologi dapat digunakan untuk kebaikan atau keburukan, tergantung pada bagaimana kita menggunakannya.

Dalam konteks ini, UNESCO menekankan pentingnya literasi digital sebagai life skills yang mencakup kemampuan untuk belajar, berpikir kritis, kreatif, dan inovatif dalam kompetensi digital.

Lebih lanjut, literasi digital juga berperan dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Dengan pemahaman yang baik tentang teknologi, kita dapat memanfaatkan berbagai alat digital untuk menyelesaikan tugas dengan lebih cepat dan tepat. Seperti seorang tukang yang mahir menggunakan peralatannya, kita dapat bekerja dengan lebih efisien dan hasil yang memuaskan.

Namun, tantangan terbesar dalam literasi digital adalah kesenjangan digital. Tidak semua individu memiliki akses yang sama terhadap teknologi dan informasi. Hal ini dapat menyebabkan ketimpangan dalam pendidikan, ekonomi, dan partisipasi sosial. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan bahwa literasi digital dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.

Dalam era digital ini, kita juga harus sadar akan pentingnya etika dan keamanan online. Kita harus berhati-hati dalam membagikan informasi pribadi dan menghormati privasi orang lain. Seperti di dunia nyata, dunia maya juga memiliki aturan dan norma yang harus kita patuhi.

Sebagai penutup, literasi digital bukan hanya tentang kemampuan teknis, tetapi juga tentang sikap dan pemahaman kita dalam menggunakan teknologi. Dengan literasi digital yang baik, kita dapat memanfaatkan teknologi untuk kebaikan, menciptakan inovasi, dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat digital.

 

Pesan Moral:

"Di dunia digital, pengetahuan adalah pelita, dan kebijaksanaan adalah penuntun. Tanpa keduanya, kita akan tersesat dalam gelapnya informasi yang menyesatkan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar